Dunia Pendidikan Islam Tercoreng, Buya Habibur Rahman: Pondok Miftahul Huda Bukan Anggota MP3D

Buya Habibur Rahman Mu’allim Tuanku Paduko Sutan Wakil Ketua Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Dharmasraya (MP3D)
SIGAPNEWS.CO.ID | DHARMASRAYA — Dunia pendidikan kembali tercoreng dengan mencuatnya kasus dugaan pencabulan di Pondok Pesantren Miftahul Huda, Kabupaten Dharmasraya. Peristiwa ini memicu guncangan besar dan menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan orang tua terhadap keamanan lembaga pendidikan berbasis agama.
Ironisnya, institusi yang semestinya menjadi tempat aman untuk menuntut ilmu dunia dan akhirat, kini justru berubah menjadi sumber kecemasan dan ancaman nyata.
Salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan kekecewaannya. Ia memilih pendidikan agama agar anaknya memperoleh ilmu yang dapat menjadi bekal dunia akhirat. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya—bukan ilmu yang diraih, melainkan petaka yang didapat.
Menanggapi kasus ini, Buya Habibur Rahman Mu’allim Tuanku Paduko Sutan Wakil Ketua Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Dharmasraya (MP3D) angkat bicara. Ia menegaskan bahwa Pondok Pesantren Miftahul Huda tidak tergabung dalam organisasi MP3D, serta belum memenuhi syarat Arkanul Ma’had (rukun-rukun atau unsur dasar berdirinya pesantren) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Buya Habibur Rahman, yang juga merupakan pimpinan Pondok Pesantren Pembangunan Pulau Punjung, menyebut bahwa kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi seluruh pengelola lembaga pendidikan Islam berasrama. Ia menekankan pentingnya pengawasan ketat untuk mencegah terjadinya tindakan asusila di lingkungan pesantren.
“Setiap ponpes perlu meningkatkan sistem pengawasan, misalnya dengan memasang CCTV pada area-area rawan, serta membatasi interaksi langsung antara ustadz dan santriwati hanya dalam ruang lingkup pembelajaran di kelas atau acara resmi yang melibatkan seluruh elemen pesantren,” ujarnya kepada awak media, Selasa (17/6/2025).
Lebih lanjut, Buya mengakui bahwa potensi kasus serupa bisa saja terjadi di pesantren manapun, terutama yang belum terdaftar secara resmi di Kementerian Agama (Kemenag) atau tidak tergabung dalam organisasi resmi seperti MP3D.
Ia juga menyoroti munculnya pertanyaan dari masyarakat terkait legalitas operasional pesantren:
“Sering kali masyarakat bertanya: ‘Kenapa pondok pesantren itu tidak terdaftar? Kenapa dibiarkan beroperasi selama ini? Apakah tidak ada pengawasan dari lembaga berwenang?’” tutur Buya.
Menjawab hal tersebut, ia menjelaskan bahwa mayoritas pesantren di Dharmasraya berstatus swasta. Jika sebuah pesantren belum memiliki izin operasional, maka secara otomatis tidak tercatat di Kementerian Agama setempat. Namun, hal ini bukan berarti Kemenag melakukan pembiaran, melainkan karena proses perizinan bergantung pada inisiatif dari pengelola pesantren itu sendiri.
“Selama pihak penyelenggara tidak mengajukan permohonan izin operasional, Kemenag tidak bisa menerbitkannya. Perlu dipahami, legalitas lembaga pendidikan adalah tanggung jawab penyelenggara,” tegasnya.
Kasus ini menjadi momentum penting untuk mengevaluasi regulasi dan pengawasan terhadap pesantren, sekaligus memperkuat kolaborasi antara pemerintah, organisasi pesantren, serta masyarakat dalam menciptakan lingkungan pendidikan Islam yang aman, sehat, dan terpercaya. (*)
Editor :Riki Abdillah