Dampak Dari Perilaku Agus Buntung Pada Sosiologi Hukum Terhadap Lingkungan Masyarakat

Denok Resmini, S.H
SIGAPNEWS.CO.ID - Kasus dugaan pelecehan seksual terhadap sejumlah mahasiswi yang dilakukan oleh Wawan Agus Suar atau dikenal dengan Agus buntung, yang sempat menghebohkan jagat raya pada beberapa waktu lalu, hingga kini masih menjadi perbincangan hangat. Pasalnya, pria yang berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB) resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Kejaksaan terkait kasus yang menjeratnya.
Kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Agus buntung ini dinilai tidak masuk akal, karena tidak mungkin penyandang disabilitas melakukan hal tersebut, sampai saat ini kasus tersebut masih menjadi perdebatan baik dikalangan praktisi hukum, akademisi, masyarakat, tentu saja hal ini perlu pembuktian.
Dalam konteks hukum, pelecahan seksual adalah segala bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diinginkan oleh si korban. Selain itu, terdapat pasal yang mengatur tentang pelecehan seksual. Misalnya saja, pada pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa seorang untuk perbuatan cabul. Dimana pelaku dapat dihukum paling lama sembilan tahun penjara.
Pasal 290 KUHP mengatur perbuatan cabul terhadap seseorang yang tidak berdaya atau sedang dalam keadaan tidak sadar dan pelecehan yang dilakukan secara fisik diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 281 tindakan tidak senonoh ditempat umum dapat diancam dua tahun delapan bulan. Dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 2022, tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pelecehan seksual itu dibagi menjadi dua.
Pertama, pelecehan seksual secara fisik, yang melibatkan kontak fisik ketubuh korban. Dimana pelakunya dapat dihukum selama empat tahun kurungan penjara atau denda Rp50.000.000. Kedua, pelecehan seksual secara non fisik yaitu tindakan yang tidak melibatkan kontak fisik kepada korban, contoh komentar yang bersifat pornografi, mengirim konten pornografi tanpa persetujuan dan dapat diancam hukuman pidana penjara selama satu tahun denda Rp15.000.000. Selain itu, bentuk-bentuk dari pelecehan seksual dapat berupa candaan yang berupa seksual, sentuhan fisik tanpa izin, melihatkan alat vitalnya ketempat umum tanpa persetujuan orang lain, mengirim gambar atau video orang lain dan prilaku tidak senonoh seperti bahasa tubuh bernada seksual.
Korban yang mengalami pelecehan seksual, saat ini tidak hanya terjadi pada perempuan saja, tetapi juga terjadi pada anak-anak kecil baik itu laki-laki atau perempuan, yang juga pernah mengalami hal yang sama. Maka dari itu diperlukan perhatian pemerintah agar, tidak lagi terjadi pelecehan seksual di Indonesia.
Pelecehan seksual sendiri, tidak saja terjadi ditempat umum, seperti di taman, di pasar, di mall dan lain sebagainya, tetapi juga terjadi di perguruan tinggi, sekolah, rumah ibadah dan lain-lain. Makan dari itu, pencegahan pelecehan seksual harus dilakukan sejak dini, seperti penyuluhan hukum tentang bahaya pelecehan seksual baik dikeluarga, sekolah bahkan di perguran tinggi sekali pun, sehingga tidak ada lagi korban yang berjatuhan.
Secara teoritis, diperlukannya perlindungan terhadap korban kejatahan atau korban pelecehan seksual dapat diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderita atau kerugian diderita oleh korban, sehingga dapat diberikan bantuan seperti bimbingan konseling, pengobatan medis, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pelecehan seksual. Perlindungan hukum sebagaimana undang-undang nomor 13 tahun 2006.
Namun bila ditinjau dari aspek sosiologi atau sosial, pelaku pelecehan seksual ini tentunya melanggar norma kesusilaan dan norma hukum yang berlaku. Pelaku pelecehan seksual dapat dijerat sanksi pidana dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pasalnya, pelecehan seksual biasanya terjadi karena, adanya keinginan si pelaku sendiri dan adanya kesempatan untuk melakukan perbuatan kejinya. Tak hanya itu, pelecehan seksual terjadi ketika pelaku mempunyai kekuasan yang lebih tinggi dari pada korban.
Bagi korban pelecehan seksual tentunya, mendapatkan trauma dan sulit untuk diobati secara mental. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sepanjang 2024, tercatat 8.615 kasus di seluruh penjuru Indonesia. Dimana rata-rata mayoritasnya perempuan. Hal ini merupakan pelanggaran serius yang sering terjadi.
Adapun dampak dari pelecehan seksual adalah terjadinya emosial dan psikologis kepada si korban. Korban sering merasa cemas, stress, depresi, secara fisik korban mengalami gangguan pencernaan, susah tidur, merasa takut, dan kurang percaya diri. Sedangkan dampak sosial, korban pelecehan seksual menarik diri dari lingkungan sosial, menjauh dari keluarga dan lingkungan sekitar, sehingga korban pelecehan seksual harus diberikan pendampingan secara khusus.
Sementara itu, secara sosiologi hukum dampak bagi pelaku pelecehan seksual terhadap yaitu dengan memberikan hukuman yang tegas berupa pidana penjara, sehingga tidak lagi melakukan. Diberikan pembinaan berupa pengetahuan agama, dan diberikan pelatihan kerja serta memperbaiki moralnya agar tidak mengulangi hal yang sama. Meskipun tentunya saja bagi pelaku pelecehan seksual akan mendapatkan sanski sosial dari masyarakat, apabila telah keluar dari jeruji besi. Diharapkan perlunya nilai-nilai agama, gara dapat membentengi diri dari perbuatan tercela tersebut. (*)
Oleh : Denok Resmini, S.H
Editor :Andry